Minggu, 30 Januari 2011

Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Materi Pokok Hukum Hooke dan Elastisitas dengan Menerapkan Pendekatan Problem posing pada Siswa Kelas XI semester ganjil SMA Negeri 1 Sampolawa "BAB II"

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap (Winkel, 1987). Menurut Slameto, belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan Gledner dalam (Nurshoba: 2007) berpendapat belajar merupakan proses untuk memperoleh berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Menurut Purwanto dalam (Miftakhul: 2005) menyebutkan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang bersifat relatif permanen. Belajar adalah suatu proses dimana seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil dari latihan. Dalam definisi tersebut mengandung pengertian bahwa faktor latihan memegang peranan penting dalam perubahan tingkah laku. Terbentuknya tingkah laku sebagai hasil belajar mempunyai tiga ciri pokok yaitu : (a) tingkah laku itu berupa kemampuan aktual yang potensial, (b) kemampuan itu berlaku dalam waktu yang relatif lama, dan (c) kemampuan baru itu diperoleh melalui usaha.
Dari definisi yang diuraikan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan tingkah laku yang relatif bersifat permanen yang disebabkan oleh pengalamannya.
Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Perubahan merupakan hasil dari belajar yang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuan, sikap, tingkah laku, keterampilan, kemampuan dan kecakapan serta perubahan aspek-aspek lainnya yang ada pada diri seseorang yang melakukan kegiatan belajar.
Menurut Hamalik (1985: 40) menyatakan bahwa belajar adalah suatu bentuk perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam tingkah laku, bakat, pengalaman, latihan, kebiasaan, keterampilan dan kesanggupan menghargai perkembangan sikap-sikap sosial, emosional dan pertumbuhan jasmani.
Selain itu Nasution (1985: 45) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan kelakuan, bakat, pengalaman dan latihan. Selanjutnya Slameto    (1995: 2) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Dari pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang merupakan hasil interaksi antara individu belajar dengan lingkungannya.  Kegiatan belajar tersebut diperoleh melalui kegiatan belajar baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat yang dilakukan secara kontiyu.
B.     Mengajar
Mengajar dalam standar proses pendidikan tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, akan tetapi juga di maknai sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa belajar. Makna lain mengajar yang demikian sering di istilahkan dengan pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar mengajar siswa harus di jadikan sebagai pusat dari kegiatan.
Mengajar menurut definisi modern adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Definisi ini menunjukkan bahwa yang aktif adalah siswa yang mengalami proses belajar. Sedangkan guru hanya membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa (Slameto, 1987: 30).
Alvi W. Howard dalam  (Slameto 1987: 32), memberikan definisi mengajar yang lebih lengkap, yaitu mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skiil, attitude, ideals (cita-cita) aprecations (penghargaan) dan knowledge (pengetahuan). Dalam pengertian ini guru harus berusaha membawa perubahan tingkah laku yang baik atau kecenderungan langsung untuk mengubah tingkah laku siswanya. Itu suatu bukti bahwa guru harus memutuskan,  membuat dan merumuskan tujuan  untuk apa belajar itu, juga harus memikirkan bagaimana bentuk dan cara penyajian dalam proses belajar mengajar itu, bagaimana usaha guru menciptakan kondisi-kondisi, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi edukatif.
Pada hakekatnya mengajar adalah proses dalam mengupayakan optimalnya kegiata siswa, dalam hal ini membutuhkan keaktifan dari siswa dan guru agar terbina suatu komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik dalam memperoleh pengetahuan secara efektif, kognitif dan psikomotik.
C.    Aktivitas Belajar
Dari beberapa temuan dan pendapat mengenai aktivitas belajar menyebutkan bahwa pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Siswa belajar sambil bekerja, akan memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan aspek-aspek tingkah laku lainnya, serta mengembangkan keterampilan yang bermakna untuk hidup di masyarakat.
Aktivitas belajar diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam pelaksanaan proses pembelajaran, dimana siswa bekerja atau berperan aktif dalam pembelajaran, sehingga dengan demikian siswa tersebut akan memperoleh pengetahuan, pengalaman, pemahaman, dan aspek-aspek yang lain tentang apa yang ia lakukan (Hamalik, 2003: 72).
Menurut Paul D. Dierich dalam Hamalik (2003: 74) membagi aktivitas atau kegiatan belajar kelompok menjadi delapan, yaitu (1) kegiatan visual, seperti membaca, melihat gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, dan mengamati orang lain bekerja; (2) kegiatan-kegiatan lisan, seperti mengemukakan fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi; (3) kegiatan-kegiatan mendengarkan, seperti mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio; (4) kegiatan-kegiatan menulis, seperti menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket; (5) kegiatan-kegiatan menggambar, seperti menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola; (6) kegiatan-kegiatan metrik, seperti melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari dan berkebun; (7) kegiatan-kegiatan mental, seperti merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, melihat, hubungan-hubungan, dan membuat keputusan; dan (8) kegiatan-kegiatan emosional, seperti minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.
Penggunaan asas aktivitas besar nilainya bagi pengajar, karena siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri, berbuat sendiri, memupuk kerja sama yang harmonis di kalangan siswa, siswa bekerja sesuai dengan minat dan kemampuan siswa, memupuk disiplin keras, mempererat hubungan sekolah dan masyarakat, dan hubungan antara orang tua dengan guru.
  
D.    Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan salah satu indikator dari perubahan-perubahan yang terjadi pada diri individu setelah menjalani proses belajar, dimana untuk mengungkapkannya bisa menggunakan suatu alat penilaian yang disiapkan oleh guru.
Sehubungan dengan hal tersebut Winkel (1984: 102) mengemukakan bahwa prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Adanya perubahan itu tampak pada prestasi belajar yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan dan persoalan serta tugas yang diberikan oleh guru. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa prestasi adalah bukti keberhasilan yang dicapai.
Arikunto (1999: 21) menyatakan bahwa  hasil belajar merupakan suatu hasil yang menggambarkan tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang dilakukan. Selanjutnya Suryo Subroto (1997: 34)  menyatakaan bahwa hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dalam bidang studi tertentu dan untuk memperolehnya menggunakan standar sebagai pengukur keberhasilan. Pendapat yang sama di ungkapkan juga oleh Mappa (1998: 16) bahwa hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dalam bidang studi tertentu  dan untuk memperolehnya menggunakan tes standar sebagai pengukur intelektual yang telah menjadi milik pribadi seseorang yang memungkinkan orang itu melakukan sesuatu untuk memberikan prestasi tertentu.
Howard Kingsley dalam Sudjana, 1989: 45 memberikan tiga macam hasil belajar, yaitu : pengetahuan, keterampilan dan sikap yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah. Kunci pokok untuk memperolah ukuran dan data hasil belajar siswa seperti terungkap di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur.
Prestasi belajar dapat dilihat pada hal-hal berikut antara lain:
a.       Masukkan yang cukup baik berkenaan dengan nilai pengetahuan dan  keterampilan. Hal ini bisa berasal dari guru, orang tua, teman, buku dan lain-lain.
b.      Jumlah dan kualitas belajar yang baik. Nilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh hendaknya sebanyak mungkin sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
c.       Hasil belajar sebaiknya mempunyai relevansi dengan kebutuhan, baik bagi peserta didik maupun bagi yag lainnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakn bahwa hasil belajar adalah merupakan ukuran keberhasilan seorang siswa setelah mengikuti proses belajar disuatu tempat tertentu yang diketahui dengan memberikan tes hasil belajar sebagai alat ukur.
  
E.     Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Menurut Anita Lie dalam Saputra 2005:i50 menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif atau pembelajaran gotong-royong adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang berstruktur. Dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar artinya meskipun siswa mengerjakan suatu tugas berstruktur secara bersama-sama dan bekerjasama dengan sesama siswa, tetapi guru tidak meninggalkan perannya begitu saja, guru tetap menjadi pembimbing dan pengawas jalannya pembelajaran agar seluruh siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran tersebut.
Selanjutnya Sanjaya (2007:i242) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan / tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan, jika kelompok kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergntungan yang semacam itulah akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu aakan saling membantu, mereka akan mempunyai motifasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setip individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok 
F.     Pendekatan Problem posing
Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yang mempunyai beberapa padanan kata. As’ari (2000: 5) menggunakan istilah pembentukan soal sebagai padanan kata untuk istilah problem posing. Selain itu juga menggunakan istilah pembuatan masalah dan pengajuan soal oleh Suharta dalam Siswono  (2000: 1). Problem posing mempunyai beberapa pengertian, Suryanto dalam            Siswono (2000: 3) menjelaskan Problem posing adalah perumusan soal sederhana  atau perumusan soal ulang yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Ini terjadi dalam menyelesaikan soal-soal rumit. Silver dalam Yuhasriati (2002: 12), mengartikaan Problem posing sebagai perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan. Lebih lanjut Silver dan Cai dalam Yuhasriati (i2002:i12) mengartikan Problem posing sebagai pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah penyelesaian suatu soal. Hal ini didukung oleh Gugus dalam PPGM (1999: 5), yang mengartikan Problem posing sebagai suatu pendekatan pembelajaran efektif dengan cara pembentukan soal atau masalah yang mencakup dua kegiatan, yaitu (1) pembentukan soal baru    atau pembentukan soal dari situasi  dan pengalaman siswa  dan (2) pembentukan soal dari soal lain yang sudah ada.
Suryanto (1999) mengatakan bahwa pembentukan soal (problem posing) adalah cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan calon guru untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam memecahkan masalah.
Problem posing merupakan penyelesaikan soal dalam materi dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah dengan mendorong keberanian siswa atau kelompok siswa untuk membuat soal, Cars dalam Sutawijaya (1998).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang memuat Problem posing menekankan pada kegiatan pembuatan soal, dan penyelesaian soal siswa, setelah siswa diberikan informasi tentang wacana dan diberikan contoh soal. Selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk membuat soal yang berkaitan dengan informasi tersebut dan siswa diminta untuk menyelesaikannya sendiri.
Menurut As’ari dalam Yansen (2005: 6) langkah-langkah pendekatan problem posing dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.

Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
1.    Mengingat kembali materi sebelumnya.
1.  Berusaha mengingat lagi materi yang di ingatkan guru.
2. Menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran
2.      Memahami materi dan tujuan pembelajaran.
 3.  Menjelaskan materi pelajaran
3.      Memperhatikan dan mencoba memahami materi pelajaran.
4.  Memberi contoh membuat soal.

4. iiMemperhatikan contoh soal yang diberikan.
5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang dirasa kurang jelas.
5.  Bertanya hal-hal yang kurang jelas
6.  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat soal dari situasi yang diberikan.
6.  Merumuskan soal berdasarkan situasi yang diberikan.
7.    Mengarahkan siswa untuk menyelesaikan soal yang dibuat sendiri dengan benar.
7.    Menyelesaikan soal yang dibuatnya sendiri dengan benar.
8.  Meminta siswa untuk mempersentasekan soal dan jawaban yang dimiliki dan siswa lain menanggapi
8.    Mempersentasekan soal dan jawaban yang dimiliki di depan kelas.

9.  Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang sudah dipelajari.
9.    Berusaha untuk dapat menyimpulkan materi yang sudah dipelajarinya.


G.    Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional yaitu pengajaran secara klasikal tanpa membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dimana siswa belajar tanpa ada ketergantungan dalam strategis tugas. Adapun model pembelajaran konvensional berarti menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Kusomo dalam Nurshoba (2005) bahwa pembelajaran konvensional diartikan melakukan tugas dengan mendasari ciri tradisi atau apa yang telah dilaksanakan oleh guru atau pendidik dahulu tanpa ada usaha untuk memperbaiki dengan gaya kreasi yang ada padanya. Titik berat dan teori konvensional adalah pada bakal IQ (Intelegence Quonient) siswa dalam hubungan dengan tingkat keberhasilan mereka dalam menguasai bidang tertentu.
Mengenai pengajaran konvensional, beberap ahli mencoba memberikan pendapat yang pada dasarnya merupakan kondisi nyata di sekolah. (Mursell dan Nasution, 1995: 11) berpendapat bahwa cara mengajar yang konvensional atau tradisional yang pada suatu saat ketika menjadi universal dalam garis besarnya dilakukan menurut pola buku tugas resistansi, dimana bahan pelajaran dibagi dalam bahan untuk satu tahun atau triwulan yang dibagi pula dalam unit atau pelajaran.
Gambaran diatas merupakan salah satu pola mengajar yang sering digunakan pada pengajaran konvensional. Nana Sudjana mengemukakan tentang metode-metode pembelajaran yang dapat digunakan, antara lain ceraman, tanya jawab, diskusi, simulasi, pemberian tugas, eksperimen dan latihan (drill). Penggunaan metode ekspositori, drill bahkan metode ceramah dalam pembelajaran Fisika adalah merupakan pencapaian tuntutan kurikulum, mengutamakan penyampaian tekstual dari pada pengembangan kemampuan belajar serta tidak menumbuh kembangkan aspek kemampuan dan aktivitas siswa (Natu, 2004: 22)
 
G.  Hukum Hooke dan Elastisitas
1.  Sifat elastisitas suatu bahan
Sifat sebuah benda yang dapat kembali kebentuk semula disebut sifat elastis. Benda-benda yang mempunyai elastisitas atau sifat elastis seperti karet gelang, pegas, pelat logam, dan sebagainya disebut benda elastis.
Sifat suatu benda yang tidak dapat kembali kebentuk semula atau tidak bersifat elastis disebut plastis. Benda yang mempunyai plastisitas atau bersifat
Pada umumnya setiap benda yang mempunyai sifat elastis juga mempunyai sifat plastis. Apabila pegas kita rentangkan dengan gaya yang lebih besar, maka pada saat tertentu akan terjadi keadaan dimana pegas tidak dapat kembali kebentuk semula. Dalam keadaan ini berarti batas elastisitas benda sudah terlampaui. Jika gaya kita perbesar terus, benda akan menjalani sifat plastis hingga pada titik tertentu dimana pegas akan patah
I.       Hipotesis Penelitian
Ada tiga hipotesis dalam penelitiaan ini, yaitu:         
1.       Tidak ada perbedaan yang berarti antara nilai rata-rata  pre-test siswa kelas eksperimen dengan nilai rata-rata pre-test siswa kelas kontrol pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas
2.      Nilai rata-rata post-test siswa kelas eksperimen lebih baik secara signifikan dari pada  nilai rata-rata post-test siswa kelas kontrol pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas
Nilai rata-rata gain hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih baik secara signifikan dari pada nilai rata-rata  gain hasil belajar siswa kelas kontrol.

Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Materi Pokok Hukum Hooke dan Elastisitas dengan Menerapkan Pendekatan Problem posing pada Siswa Kelas XI semester ganjil SMA Negeri 1 Sampolawa "BAB I"


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya pada bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang handal dibutuhkan adanya upaya yang serius dari semua pihak dalam menciptakan proses pendidikan yang berkualitas melalui proses pembelajaran di sekolah-sekolah formal maupun informal.
Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi pengalihan ilmu pengetahuan melalui berbagai komponen komunikasi yang berinteraksi secara terpadu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu komponen tersebut adalah fisika yang merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang bertujuan agar siswa mampu menggunakan metode ilmiah untuk menemukan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di kelas. Sebagai salah satu cabang ilmu, fisika mencakup aspek kognitif, psikomotor, dan afektif, sehingga dalam pembelajarannya perlu memperhatikan ketiga aspek tersebut secara proporsional.
Proses pembelajaran Fisika di sekolah, umumnya cenderung berpusat pada guru, sehingga siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh guru tanpa melalui pengolahan potensi yang ada. Akibatnya pembelajaran yang dirasakan siswa kurang menantang untuk berpikir kritis, analisitis dan logis, Sa’adah dalam Muslimin (2009: 1).
Berdasarkan hasil observasi awal peneliti pada tanggal 7 November 2008   di SMA Negeri 1 Sampolawa menunjukkan bahwa proses pembelajaran fisika belum sesuai dengan hakikat dan tujuan fisika yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Model pembelajaran yang digunakan umumnya, model pembelajaran konvensional seperti metode ceramah ataupun pembelajaran langsung. Hal ini kurang melibatkan aktivitas siswa, akibatnya fisika dianggap sulit serta tidak dipahami oleh siswa yang berimplikasi pada rendahnya hasil belajar fisika siswa. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sampolawa pada semester Ganjil tahun ajaran 2008/2009 hanya mencapai 5,2 sementara dalam SKBM SMA Negeri 1 Sampolawa yang diharapkan minimal 6,0.
Berdasarkan uraian di atas, perlu diupayakan pendekatan pembelajaran fisika yang efektif dan efisien, sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan siswa memahami konsep fisika agar hasil belajar siswa dapat meningkat.
Untuk mendukung terciptanya pembelajaran fisika tersebut di atas, dibutuhkan upaya serius dari guru fisika dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan kemampuan mengembangkan, menemukan, dan memecahkan masalah bagi siswa dalam memahami hukum dan prinsip-prinsip fisika. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan belajar siswa SMA Negeri 1 Sampolawa adalah pendekatan problem posing.
Pendekatan problem  posing merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kegiatan pembuatan soal dan penyelesaian soal setelah siswa diberikan informasi tentang  wacana dan diberikan contoh soal. Dengan demikian siswa merasa terlatih dan terbiasa untuk mengembangkan keterampilannya dalam mengajukan soal dan memecahkannya sehingga diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hashimoto dalam Siswono (2000: 8) bahwa pembelajaran dengan problem posing mempunyai pengaruh positif terhadap kemampuan memecahkan masalah. Demikian juga yang dilakukan oleh Sutrisno dalam Yuhasriati (2002: 4) bahwa prestasi yang diperoleh oleh sekelompok siswa yang diajar dengan menggunakan pendekatan problem posing lebih baik daripada prestasi belajar kelompok siswa yang diajar dengan pendekatan secara konvensional.
Selain itu pula, hasil penelitian yang dilakukan As’ari (2000: 7) menunjukkan bahwa kelompok yang diajar dengan pendekatan problem posing mencapai taraf penguasaan 75% yang berarti memenuhi kriteria pembelajaran tuntas, sedangkan kelompok yang diajar dengan menggunakan pendekatan konvensional kriteria ketuntasan yang dicapai belum memuaskan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendekatan problem posing dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah khususnya dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami dan menyelesaikan soal, sehingga dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sampolawa. Materi pokok yang dipilih dalam penelitian ini adalah Hukum Hooke dan Elastisitas, karena materinya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan berupa materi perhitungan yang sangat cocok dalam mengajukan dan memecahkan suatu masalah dalam pembelajaran dengan pendekatan problem posing.
Dengan demikian, peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian dengan judul Meningkatkan Hasil Belajar Fisika pada Materi Pokok Hukum Hooke dan Elastisitas dengan Menerapkan Pendekatan Problem posing pada Siswa Kelas XI semester ganjil SMA Negeri 1 Sampolawa tahun pelajaran               2009/2010
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana gambaran aktivitas belajar fisika siswa yang diajar dengan menerapkan pendekatan problem posing pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sampolawa?
2.      Bagaimana gambaran hasil belajar fisika siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing dan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensial pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sampolawa ?
3.      Apakah ada perbedaan yang signifikan  antara nilai rata-rata hasil pre-test siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing dengan nilai rata-rata hasil pre-test siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas ?
4.      Apakah nilai rata-rata hasil post-test siswa  yang diajar dengan pendekatan problem posing lebih baik secara signifikan dari pada nilai rata-rata hasil  post-test siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas ?
5.      Apakah nilai rata-rata gain hasil belajar siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing lebih baik secara signifikan dari pada nilai rata-rata gain hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas ?
C.  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mendeskripsikan gambaran aktivitas belajar fisika siswa yang diajar dengan menerapkan pendekatan problem posing pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sampolawa.
  2. Untuk mendeskripsikan gambaran hasil belajar fisika siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing dan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensial pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sampolawa.
  3. Untuk menentukan keberartian perbedaan antara nilai rata-rata hasil pre-test   siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing lebih baik dari pada  nilai rata-rata hasil pre-test siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensial pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas.
  4. Untuk menentukan keberartian antara nilai rata-rata hasil post-test siswa yang diajar dengan pendekatan problem posing lebih baik dibandingkan  nilai rata-rata hasil post-test siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensial pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas.
  5. Untuk menentukan keberartian antara nilai rata-rata gain hasil belajar siswa  yang diajar dengan pendekatan problem posing  lebih baik dibandingkan  nilai rata-rata gain hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensial pada materi pokok  Hukum Hooke dan Elastisitas.
D.  Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagi peneliti, sebagai latihan dalam melakukan penelitian secara ilmiah serta mendapatkan wawasan dan pengalaman dalam menerapkan pendekatan pembelajaran problem posing.
2.      Bagi siswa, mendapatkan kesempatan belajar fisika dengan lebih bermakna sehingga hasil belajar akan lebih meningkat dan bertahan lama
3.      Sebagai informasi bagi guru mata pelajaran fisika SMA Negeri 1 Sampolawa  dalam memilih pendekatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar siswa, dengan pendekatan problem posing.
4.      Bagi sekolah, memperoleh sumbangan inovasi pembelajaran yang relevan dengan nuansa pembelajaran yang diinginkan dalam penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di sekolah.
5.      Bagi penelitian bidang sejenis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar dan masukan untuk penelitian selanjutnya.
E.     Defenisi Operasional
Untuk menghindari perbedaan persepsi terhadap penggunaan istilah dalam penelitian ini, maka perlu diberikan definisi operasional sebagai berikut.
1.      Pendekatan problem posing yaitu pendekatan pengajuan masalah yang menekankan pada kegiatan pembuatan soal dan penyelesaian soal setelah siswa diberikan informasi tentang wacana Hukum Hooke dan Elastisitas oleh guru, yang dalam prosesnya dilakukan oleh siswa secara berkelompok
      (5 orang).
2.      Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang didominasi oleh guru tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran, biasanya didominasi dengan metode ceramah.
  1. Hasil belajar fisika adalah nilai yang dicapai oleh siswa setelah diberikan instrumen tes hasil belajar fisika pada materi pokok Hukum Hooke dan Elastisitas.